Day 2 - Nadia Uyh Trip to Bali
Rice Terrace - Tagalalang
Setelah menikmati kota Denpasar, kami main ke Ubud. Pemandangan sawah, ladang, Pura, dan toko-toko kesenian berjajar menemani perjalanan 90 menit kami sampai di Rice Terrace - Tagalalang. Area ini rupanya juga terkenal dengan kopi luwaknya karena ada banyak spanduk dan stand board bertulisan "Kopi Luwak Asli". Complete. Ubud begitu kaya dengan alam dan budayanya. Sepanjang jalan hampir setiap pohon dan patung dibalut kain motif kotak berwarna hitam putih. Di bawahnya sesajen Bukti ketegaran budaya dan religi di tengah gelombang keras globalisasi.
Rice Terrace tidak menyediakan lahan parkir khusus a.k.a ilegal. Kendaraan ditaruh sembarangan di pinggir jalan. Pun petugas parkir tak terlihat di sini, hanya ada pelaku usaha oleh-oleh. Tak lama setelah kami turun dari motor, sebuah motor lain berhenti di sebelah. Seorang abang ojek yang merangkap sebagai guide untuk mbak bule.
Sebelum turun ke area persawahan yang disulap jadi objek wisata itu, ada satu spot wajib untuk foto. Di sana pengunjung bisa melempar pandang hampir ke seluruh area terasering karena lokasinya berada di atas. Sabar antre karena tempat foto ini ngga cukup luas.
Setelah foto, upload instagram, lalu??? Jalan masuk untuk turun ke sawah juga ngga tau. Nyasar dikit-dikit sampai akhirnya pilih tanya ke seorang waitress salah satu cafe. Di Rice Terrace pengunjung tak perlu bayar karcis masuk. Setapak, dua tapak turun dan melewati semak belukar. Uyh ngosh-ngoshan, kami juga beberapa kali papasan sama bule yang muka nya merah padam penuh keringat.
Setelah sedetik tatap-tatapan, kami tau harus segera naik lagi. Batal menyusuri sawah, ketimbang bisa turun ngga bisa naik. Heheh. cuma turun 3 meter doang aja udah ngosh-ngoshan. Walaupun Rice Terrace jelas menawarkan pemandangan yang luar biasa indah.
Rice Terrace - Tagalalang
Setelah menikmati kota Denpasar, kami main ke Ubud. Pemandangan sawah, ladang, Pura, dan toko-toko kesenian berjajar menemani perjalanan 90 menit kami sampai di Rice Terrace - Tagalalang. Area ini rupanya juga terkenal dengan kopi luwaknya karena ada banyak spanduk dan stand board bertulisan "Kopi Luwak Asli". Complete. Ubud begitu kaya dengan alam dan budayanya. Sepanjang jalan hampir setiap pohon dan patung dibalut kain motif kotak berwarna hitam putih. Di bawahnya sesajen Bukti ketegaran budaya dan religi di tengah gelombang keras globalisasi.
Rice Terrace tidak menyediakan lahan parkir khusus a.k.a ilegal. Kendaraan ditaruh sembarangan di pinggir jalan. Pun petugas parkir tak terlihat di sini, hanya ada pelaku usaha oleh-oleh. Tak lama setelah kami turun dari motor, sebuah motor lain berhenti di sebelah. Seorang abang ojek yang merangkap sebagai guide untuk mbak bule.
Sebelum turun ke area persawahan yang disulap jadi objek wisata itu, ada satu spot wajib untuk foto. Di sana pengunjung bisa melempar pandang hampir ke seluruh area terasering karena lokasinya berada di atas. Sabar antre karena tempat foto ini ngga cukup luas.
Di balik senyum irit ini, ada paparan sinar matahari langsung ke wajah tanpa sunblock dan antrean mbak-mbak bule |
Representasi Bali, ketika agama, budaya, dan alam mampu jalan berdampingan |
Setelah foto, upload instagram, lalu??? Jalan masuk untuk turun ke sawah juga ngga tau. Nyasar dikit-dikit sampai akhirnya pilih tanya ke seorang waitress salah satu cafe. Di Rice Terrace pengunjung tak perlu bayar karcis masuk. Setapak, dua tapak turun dan melewati semak belukar. Uyh ngosh-ngoshan, kami juga beberapa kali papasan sama bule yang muka nya merah padam penuh keringat.
Setelah sedetik tatap-tatapan, kami tau harus segera naik lagi. Batal menyusuri sawah, ketimbang bisa turun ngga bisa naik. Heheh. cuma turun 3 meter doang aja udah ngosh-ngoshan. Walaupun Rice Terrace jelas menawarkan pemandangan yang luar biasa indah.
Kembali ke kafe pertama
tempat kami tanya jalan masuk tadi. Di sana ada banyak kafe berjajar, tinggal pilih yang viewnya paling bagus.
Pilihan menunya nggak jauh beda. Setelah puas menikmati area persawahan, kami kembali pulang. Siang itu, Ubud diguyur hujan dan kami nekat turun karena sisa waktu yang nggak boleh disia-siakan hanya untuk menanti hujan berhenti. Apalagi di motor sewaan sudah tersedia jas hujan batman, cukup untuk berdua.
Jalan pergi yang cenderung lurus-lurus aja kata Uyh "nggak menantang". Saya yang bertugas sebagai navigator banting stir ke opsi rute kedua. Selain berkelok, jalan pulang cukup naik-turun dan curam. Tapi area yang dilewati indah nan menawan. Peduli amat sama mbak driver, salah sendiri minta yang lebih menantang. 😏😏😏
![]() |
Rute perjalanan Mega Boutique - Rice Terrace |
![]() |
Rute perjalanan Rice Terrace - La Laguna |
La Laguna - Canggu
Destinasi berikutnya yang ngga boleh dilewatkan oleh turis lokal macam kami adalah, La Laguna. Bagian ini adalah pilihan Uyh. Dia ngerasa puas, di atas awan, karena nggak salah pilih lokasi buat ngabisin waktu di Bali. La Laguna berada di pinggir pantai dengan view laut, jembatan kayu yang ikonik, ditambah suasana romantis max ala-ala gypsy bohemian. Apalagi kalau ke sana saat senja.
Sayangnya,
Di pintu masuk La Laguna, kami diinfo salah seorang pelayan jaga minimal transaksi Rp 200 ribu/orang. Belakangan saya baca beberapa ulasan di google review, banyak yang kecewa karena angka transaksi melonjak jadi Rp 350 ribu per orang saat kunjungan lagi tinggi-tingginya. Di tambah lagi tamu hanya boleh stay selama 1,5 jam. Satu lagi hasil rangkuman google review, pelayan cukup diskriminatif dengan tamu lokal. Tapi boleh dicoba sendiri dulu yaa.. karena waktu saya ke sana tidak diinfo kalau ada minimal waktu dan pelayanan sangat ramah.
Apalagi,
View dan nuansa yang ditawarkan sangat luar biasa. Romantis.
Foto - foto di bawah jadi bukti kalau kita udah cukup kekinian, yuh. 😎
![]() |
Di balik indahnya La Laguna, ada abang-abang bertopi bundar |
![]() |
Sepanjang jalan masuk, pengunjung disajikan rumah-rumah gypsy dari kayu |
Kami makan apa aja yang penting halal. Dan Alhamdulillah, enak. |
Kalau uyh, selain halal harus pedasss, sampai dikasih extra cabe potong |
How lucky we are, bisa duduk di tempat yang nyaman buat nikmatin sore sambil makan menu meksiko dan foto. Sebelah kanan saya ada kali buatan dan sebelah kiri kali beneran. Di atas kali-kali ada jembatan. Setelah makan, kami manfaatkan waktu jalan-jalan di pantai lewat jembatan ikonik khas La Laguna. Sisinya dipenuhi lampu dan bunga, jadi bakal cantik banget kalau udah senja. Di pantainya, disediakan bamboo wigwams dan dudukan dari kayu.
Anw, yang bisa ke lokasi ini hanya pengunjung La Laguna.
Waktu habis, kami dipanggil magrib untuk segera bebersih dan menghadap. Ternyata ngga cukup mudah menemukan masjid di Bali, jadi bagi wisatawan muslim lebih baik sholat sebelum mulai menjelajah Bali.
Sesampainya di hotel, kami beberes, sholat, berencana, lalu pulas. Hahaha, ternyata tubuh ngga bisa diajak kompromi buat langsung cabut lagi. Padahal besok sore udah harus angkat kaki dari Bali.
La Plancha - Seminyak
Setelah isya, akhirnya kami putuskan bergegas ke La Plancha. Kami sempat merasa asing karena pakai jilbab sedangkan yang lain pakai bikini. Area parkirnya juga lumayan gelap jadi kami cari lokasi yang paling ramai. Apalagi ngga keliatan ada abang parkir. T_T
Ternyata kami disambut La Plancha dengan angin dan air pasang. Ditemani suara musik akustik. What a night sih. Apalagi di momen yang sama, Uyh mengakui dosa, kesalahan terbesar karena baru cerita bahwa dia DILAMAR MANTANnya ._. And soon to be her husband.
Harga menu di La Plancha pastinya beda-beda karena ada banyak sekali cafe dan bar berjajar. Karena kami hanya stay di satu cafe, jadi cuma bisa kasih refrensi dari satu lokasi ini. Itu pun nama cafenya kami lupa ._. Clue nya, mbak abang waitress pakai seragam warna kuning. Heuheu.
Harga milkshake Rp 25 ribuan
Sedangkan fried fries kira-kira Rp 30 ribu
Angka tersebut tidak bisa kami pertanggung jawabkan karena post ini ditulis jauh setelah agenda trip ke Bali. peace!
Pulang saat tak ingin pulang. Tapi kami ngga lanjut kemana-mana. Malam gini yang hidup mungkin tinggal club. (Sama fastfood dan inomaret 24 jam).
Esok harinya kami khilaf, bangun kesiangan. Untunglah masih sempat sarapan. Lalu bergegas cari oleh-oleh. Harusnya kami check out pukul 12.00, tapi sampai 13.00 Uyh belum juga selesai belanja oleh-oleh di Krishna. Maklum lah, dia terlahir dari keluarga sangat amat besar dan penuh rasa empati. Jadi, sampai pekerja di toko punya bapak nya kebagian oleh-oleh juga. No worries, Uyh. Lanjutkan..
Saya yang nunggu Uyh tanpa kepastian berinisiatif telpon pihak hotel dan minta extention. Denda yang harus dibayar adalah 50 persen dari biaya inap di hari itu. Tanpa berniat pamer, Uyh nguras kocek sampai Rp 3 juta cuma buat oleh-oleh.
Padahal dia udah atur strategi dari awal biar ga habis banyak untuk oleh-oleh. Yakni, belanja kalau udah mepet waktu mau pulang. Tapi boro-boro bisa ngepres, kita malah mesti keluar duit lagi buat extend hotel. HUFF.
Sampai di hotel kami packing oleh-oleh, siap-siap dan pesan taksi online. Sedih sekali karena nggak ada driver yang berani jemput kami di depan hotel. Opsi lainnya adalah pesan langsung ke resepsionis hotel. Walau harganya jelas terpaut jauh.
Overall perjalanan di Bali rasanya terlalu singkat. Tapi banyak hal di luar dugaan yang sangat saya kagumi dari karakter kota wisata ini. Warga lokal bisa menyesuaikan diri bahkan mengoptimalkan potensi ekonomi. Pun budaya nya tetap andil mempercantik kota. Satu lagi yang belakangan saya tahu, pemerintah kota Bali melayangkan peraturan tidak boleh ada bangunan tinggi di Bali. Berapa batas ketinggiannya, belum saya cek.
Anw, yang bisa ke lokasi ini hanya pengunjung La Laguna.
Waktu habis, kami dipanggil magrib untuk segera bebersih dan menghadap. Ternyata ngga cukup mudah menemukan masjid di Bali, jadi bagi wisatawan muslim lebih baik sholat sebelum mulai menjelajah Bali.
Sesampainya di hotel, kami beberes, sholat, berencana, lalu pulas. Hahaha, ternyata tubuh ngga bisa diajak kompromi buat langsung cabut lagi. Padahal besok sore udah harus angkat kaki dari Bali.
La Plancha - Seminyak
Setelah isya, akhirnya kami putuskan bergegas ke La Plancha. Kami sempat merasa asing karena pakai jilbab sedangkan yang lain pakai bikini. Area parkirnya juga lumayan gelap jadi kami cari lokasi yang paling ramai. Apalagi ngga keliatan ada abang parkir. T_T
Ternyata kami disambut La Plancha dengan angin dan air pasang. Ditemani suara musik akustik. What a night sih. Apalagi di momen yang sama, Uyh mengakui dosa, kesalahan terbesar karena baru cerita bahwa dia DILAMAR MANTANnya ._. And soon to be her husband.
Harga menu di La Plancha pastinya beda-beda karena ada banyak sekali cafe dan bar berjajar. Karena kami hanya stay di satu cafe, jadi cuma bisa kasih refrensi dari satu lokasi ini. Itu pun nama cafenya kami lupa ._. Clue nya, mbak abang waitress pakai seragam warna kuning. Heuheu.
Harga milkshake Rp 25 ribuan
Sedangkan fried fries kira-kira Rp 30 ribu
Angka tersebut tidak bisa kami pertanggung jawabkan karena post ini ditulis jauh setelah agenda trip ke Bali. peace!
![]() |
Kalau kebanyakan wisatawan pamer foto La Plancha pas sunset, kami terpaksa pamer foto langit hitam pekat |
![]() |
Malam sekalipun La Plancha bener-bener ramai, alhasil kita kebagian bean bag sisa |
Kami duduk di sini sampai di usir waitress. Karena jam 12 semua cafe di La Plancha ternyata tutup. |
Pulang saat tak ingin pulang. Tapi kami ngga lanjut kemana-mana. Malam gini yang hidup mungkin tinggal club. (Sama fastfood dan inomaret 24 jam).
Esok harinya kami khilaf, bangun kesiangan. Untunglah masih sempat sarapan. Lalu bergegas cari oleh-oleh. Harusnya kami check out pukul 12.00, tapi sampai 13.00 Uyh belum juga selesai belanja oleh-oleh di Krishna. Maklum lah, dia terlahir dari keluarga sangat amat besar dan penuh rasa empati. Jadi, sampai pekerja di toko punya bapak nya kebagian oleh-oleh juga. No worries, Uyh. Lanjutkan..
Saya yang nunggu Uyh tanpa kepastian berinisiatif telpon pihak hotel dan minta extention. Denda yang harus dibayar adalah 50 persen dari biaya inap di hari itu. Tanpa berniat pamer, Uyh nguras kocek sampai Rp 3 juta cuma buat oleh-oleh.
Padahal dia udah atur strategi dari awal biar ga habis banyak untuk oleh-oleh. Yakni, belanja kalau udah mepet waktu mau pulang. Tapi boro-boro bisa ngepres, kita malah mesti keluar duit lagi buat extend hotel. HUFF.
Sampai di hotel kami packing oleh-oleh, siap-siap dan pesan taksi online. Sedih sekali karena nggak ada driver yang berani jemput kami di depan hotel. Opsi lainnya adalah pesan langsung ke resepsionis hotel. Walau harganya jelas terpaut jauh.
Overall perjalanan di Bali rasanya terlalu singkat. Tapi banyak hal di luar dugaan yang sangat saya kagumi dari karakter kota wisata ini. Warga lokal bisa menyesuaikan diri bahkan mengoptimalkan potensi ekonomi. Pun budaya nya tetap andil mempercantik kota. Satu lagi yang belakangan saya tahu, pemerintah kota Bali melayangkan peraturan tidak boleh ada bangunan tinggi di Bali. Berapa batas ketinggiannya, belum saya cek.
Semoga Bali tetap dalam lindungan Tuhan, dijauhkan dari kejahatan kecil dan besar, tetap adikuasa budayanya, dijaga baik alamnya. Aamiin.
And this is it, perpisahan ala-ala Nadia dan Uyh. (Mau bikin vlog ga mampu)
And this is it, perpisahan ala-ala Nadia dan Uyh. (Mau bikin vlog ga mampu)
Comments
Post a Comment