Dalam hidupku, tidak sekalipun
aku pernah membayangkan apalagi berencana akan menulis kisah pasangan alm.Wicaksono Tegar K dan Ria (send to all then send to Allah). Sampai akhirnya hari
itu datang, dan aku menulis tentang mereka dengan hati yang terus berduka. Ria
berkali-kali memintaku menulis tentang kisah hidupnya. “kisah pahit ku” begitu
katanya. Sama seperti logika Lisya, aku pikir cerita ini belum berakhir hanya
karena nafas Wicak telah berhenti. Kita semua belum tahu endingnya, apalagi aku.
Setelah kepergian Wicak, setiap hari
aku seperti bermain Limbo. Teka-teki hari ini jawabannya sudah disediakan pada
hari kemarin dan semua akan terlihat jelas saat kita menyadari setiap petunjuk
yang sudah dengan murah hati Allah tunjukkan. Itu aku, bagaimana dengan Ria? Permainan
macam apa yang dia rasakan dalam hidup ini setelah senin sore itu? Maka, aku
mengerti kenapa dia terus bertanya seolah aku ini Tuhan.
Kamis siang (03/04/14) lalu aku
sampai di Malang, niat awalnya cuma antar nenek dan sabtu kembali ke Jakarta. Tapi
Allah berkehendak lain, aku ditahan-Nya untuk tetap di Malang sampai 10 hari
karena sakit. Aku bersyukur, diakhir sakitku ada kesempatan untuk berkumpul
dengan Lisya-Ria dan melihatnya mulai membaik, terutama psikisnya. Membaik? Ya,
Ria jauh sangat membaik hari itu.
Kamis malam pertama kali aku menengoknya,
dia bukan lagi Ria-ku. Bibir merahnya memutih, wajahnya pucat, pandangannya
kosong, dia tidak sadar aku datang. Malam itu, hatiku menangis melihat kondisi sahabatku
itu. Setalah kurang lebih 15 menit aku ngobrol dengan ibunya, akhirnya Ria
sadar akan kehadiranku. Dia bercerita panjang lebar sambil menangis hingga
capek dan tidur. Aku sempat meminta pada ibunya agar Ria cuti kuliah dan diterapi,
setelah itu aku pamit pulang.
Besoknya, aku menemani Ria
seharian. Hari itu, Jumat (04/04/14) pertama kalinya dia tertawa setelah
kepergian Wicak. Kami berpelukan hanya karena Ria mampu tertawa, kebiasaan yang
sebenarnya dulu tidak pernah kami tinggalkan. Tertawa adalah rutinitas kami
saat bersama. Tertawa adalah hal biasa, sangat biasa. Tapi hari itu tawa Ria
menjadi hal yang luar biasa. Ria mampu tertawa, dan aku sangat bersyukur. Hari itu
aku sadar, banyak hal berarti yang mungkin telah kami sia-siakan salah satunya
adalah nikamat tawa :D tapi hal itu tidak berlangsung lama. Matanya kosong
lagi, dia menangis lagi, pingsan lagi, teriak-teriak lagi, marah-marah lagi,
bicara sendiri lagi, pucat lagi, psikis dan fisiknya melemah lagi.
Masih di hari yang sama, Jun (sahabat
Wicak) datang dan Ria melihatnya sebagai Wicak. Ibu Ria menangis, perempuan
kuat itu aku lihat menangis. Perempuan yang sangat tegar itu meneteskan air
mata mendengar ucapan Ria “Py, teko ndi ae?” dia berusaha menyadarkan anaknya. Tapi
Ria tidak juga sadar, dia berulang kali tanya kenapa Wicak keluar dari kamar
itu. Ya, Jun terpaksa harus keluar dari kamar dan sembunyi karena kondisi Ria. Beberapa
menit Jun bertahan di garasi mobil, dia terlihat ketakutan karena sikap Ria,
tapi sore itu Allah izinkan kami tertawa lagi karena Ria mulai tenang kembali
setelah beribu doa dibisikkan di telinga kanan-kirinya. Aku, Ria, Ayah-ibu dan
kedua adiknya serta Jun berbincang menikmati sore. Sementara waktu, kami
upayakan arah pembicaraan tidak sedikitpun menyinggung tentang Wicak walau
tentu sangat sulit.
Sabtu (12/04/14) kemarin aku
sempatkan diri ke rumah Ria walau kondisi ku belum fit, sudah ada Lisya disana.
Sama seperti pertama kali melihatnya kemarin, aku kaget. Tapi kali ini aku kaget
karena Ria sudah terlihat baik-baik saja. Kami berbincang penuh tawa bertiga,
aku Ria dan Lisya. Kami bercerita tentang sesuatu yang sangat sensitif bagi
Ria, yaitu kuliah dan pernikahan. Awalnya aku merasa bersalah, takut dia mulai
berpikir kebelakang lagi tapi ternyata Ria mengikuti alur pembicaraan dan dia
baik-baik saja. Aku bersyukur. Semuanya seolah kembali seperti dulu lagi, kami
bertiga lagi, tertawa lagi. Aku tidak mampu mengucap apapun selain syukur
karena bisa melihat Ria dan Lisya tertawa. Tidak bisa mengungkapkan apapun
selain kebesaran Tuhan karena kami bersama, dalam kondisi apapun.
Kembali tentang Ria, Satu hal
yang tidak bisa aku hindari, ribuan pertanyaan Ria yang sebisa mungkin harus
aku jawab untuk membantu menenangkan hati dan pikirannya. Dia masih bertanya
pada yang tidak tahu apa-apa ini, bahkan sampai hari ini. Beberapa yang masih
aku ingat seperti :
- Nad, kapanpun dia capek dan
minum soda apa dia bakal tetep meninggal?
- Nad, kalo misal aku udah nikah
sama dia, apa dia bakal tetep meninggal hari itu?
- Nad, kenapa Allah nemuin aku
sama Wicak?
- Nad, kenapa Allah biarin aku 7th sama Wicak?
- Nad, apa aku bisa mandiri tanpa
Wicak?
- Nad, kenapa aku ga boleh sampe
nikah sama Wicak?
- Nad, apa aku bakal bisa nemuin
pengganti Wicak?
- Nad, siapa jodoh ku yah?
Itu yang aku ingat, ratusan
pertanyaan lainnya aku sudah lupa. Dan ini tetap seperti permainan Limbo bagi ku. Kemarin
aku baca Kitab Allah, surat-surat cinta dari Allah, Al-Qur’an. Dan ini jawaban
dari semua pertanyaan mu, Ria..
“dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang
mengetahui selain Dia. Dia yang mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak
ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir
biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang
kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (QS.Al-An’Am;
59)”
Ria, teruslah bertanya, pada Nya..
Comments
Post a Comment